Selasa, 19 Januari 2010

Sajak Sepatu Bolong Kepada Sandal Jepit

Tahukah dirimu. Dulu aku adalah sepatu yang sempurna. ke mana-mana aku mengikuti langkah kaki tuan yang memakaiku. Kurelakan diriku diinjak dan dibawa ke mana saja.

Tahukah dirimu. Dulu sewaktu aku masih sempurna. Aku dipamerkan kepada siapa saja. Bahkan banyak yang iri dengan kehadiran diriku. Setiap hari ku selalu dibersihkan, dibelai dengan lembut. Diajak melintasi jalan-jalan di atas bumi ini.

Tahukah dirimu. Dulu sewaktu aku masih sempurna. Aku sering keluar masuk gedung mewah. Diajak bekerja sampai tuanku kelelahan, namun ku tetap setia menemaninya. Dengan kesombongannya, ku diajak melangkah di antara bawahan-bawahannya yang mempunyai sepatu jauh statusnya dibandingkan diriku.

Tahukah dirimu. Dulu sewaktu aku masih sempurna. Aku juga sering diajak ke sana kemari untuk memani tuanku melakukan korupsi. Memanipulasi laporaan keuangan, untuk menumpuk kekayaan dirinya. Namun, aku tak sanggup untuk menghentikan langkahnya.

Tahukah dirimu. Dulu sewaktu aku masih sempurna. Aku sering diajak ke ruang diskotik menghamburkan uang hasil korupsi tuanku. Aku tak sanggup berontak. Langkahnya terlalu berat untuk aku tahan.

Tahukah dirimu. Dulu sewaktu aku masih sempurna. Aku sering diajak keluar masuk hotel mewah oleh tuanku. Diajak bercinta dengan kupu-kupu malam. Dan aku tak sanggup berontak menahan langkahnya.

Tahukah dirimu. Dulu sewaktu aku masih sempurna. Aku tidak pernah dibawa ke masjid menyaksikan orang-orang shalat. Ingin ku berjalan sendiri ke masjid membasuh dosa-dosa kaki tuanku, namun sampai saat ini ku tak mampu.

Dan sekarang. Disaat aku telah terluka. Sebuah lubang menganga di sebelah kiriku digigit anjing buduk pada malam itu, aku tak bisa menemaninya lagi. Aku tak bisa melihat kakinya yang besar menginjak-injak diriku lagi.

Kini aku terbuang. terhempas di samping garasi mobil. Kehangatan rumah tak lagi bisa kurasakan. Kemilau semir tak bisa lagi kunikmati.

Kini ku terbuang. Terbuang oleh keadaan.



Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 14 Januari 2010

Masih Ingatkah? (Sajak sang preman kepada gadis pujaannya seorang gadis pondok pesantern)

Masih ingatkah Kau dengan yang dulu. Di saat kita duduk berdua menantikan angkot di senja hari, di saat hujan gerimis menyirami Banjarmasin. Dan kita duduk tak berkata apa-apa. Tiada kata yang keluar dari mulut kita. Hanya hati kita yang saling berkomunikasi. Dan entah apa jawaban dari masing-masing hati kita.

Masih ingatkah kau dengan yang dulu. Saat di halte itu aku manatapmu dan kau menyembunyikan wajahmu di balik jilbabmu itu. Aku tahu kau mungkin takut menatapku. Bagimu aku mungkin adalah sampah masyarakat.

Masih ingatkah kau dengan yang dulu. Saat hujan gerimis di kala senja itu, ku jaga dirimu sambil dengan segenap keberanian sambil menunggu angkot senja yang lewat dan mengantar kita menuju ke tempat tujuan masing-masing.

Masih ingatkah kau dengan yang dulu. Kala senja itu kita berdua berdiam diri membisu menyimpan perasaan yang berbeda.....


Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 13 Januari 2010

Selasa, 12 Januari 2010

Sajak Sang Preman Kepada Kekasihnya Seorang Gadis Pondok Pesantren

Dik... kemarin aku ciptakan sebuah sajak untukmu. Sebuah sajak cinta yang telah lama terpendam di dalam hati dan pikiranku. Yang isinya bercerita tentang kegundahan, kegalauan, kerinduan yang menggebu-gebu padamu.
Dik...kemarin aku sudah ucapkan sebuah kata cinta padamu. Tatkala kita duduk di sebuah halte sambil menunggu angkot senja yang membawa kita pulang menuju rumah kita masing-masing. Aku curahkan isi hatiku padamu sampai kering di dalamnya

Dik...kemarin aku belum puas memandangi wajahmu. Menatapmu adalah siksa jika tak sampai memilikimu.

Dik...sekarang yang tergambar dalam pikirku di mana dirimu. Di mana aku dan kamu terpisah jauh. terpisah oleh budaya dan adat yang berbeda. Terpisah oleh tatanan masyarakat yang kuat. Terpisah oleh sikap dan prilaku yang sangat berbeda.

Dik.... merindukanmu adalah siksa
kerinduan ini makin menyayat hati
kerinduan ini menumpahkan air garam pada luka
kerinduan ini memberikan pukulan berat pada dada

Dik....


Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 13 Januari 2010

Jumat, 08 Januari 2010

Dan Rupanya Kita

Dan rupanya kita masih berharap pada hutan
di saat hujan turun dengan derasnya
banjir dan longsor datang menerjang

Dan rupanya kita masih berharap pada hutan
di saat puluhan kampung mendapat bencana
ratusan rumah tenggelam di dalamnya

Dan rupanya kita masih berharap pada hutan
ketika es di kutub utara ganas mencair
pemanasan global yang menjadi alasan

Saat ini kita masih saja berdiskusi tentang hutan
sementara pembalakan makin menjadi di dalamnya

Saat ini kita membuat undang-undang pembalakan liar
sementara yang melanggar aktor penegak hukum di belakangnya

Saat ini kita menggalakkan penghijauan
sementara hutan diganti dengan ratusan alat berat yang tertanam di atasnya
mengeruk dengan ganas isi bumi di dalamnya

Saat ini kita menginginkan kelestarian alam
semetara hutan dan isinya diganti dengan ribuan pohon kelapa sawit
aset para pengusaha Malaysia


Dan rupanya kita masih berharap pada hutan
Dan kita mendapatkan apa?i


Ekspedisi KPA. Bersujud Tanah Bumbu 6 - 8 Januari 2010
Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 8 Januari 2010


Di dalam catatan ini : Bambang Subiyakto (catatan), Ersis Warmansyah Abbas (catatan), Abdin El Muharramun Amien (catatan), Akbar Alamsyah Hidayat (catatan), Al-fakir Isyar (catatan), Alfian Chemple (catatan), Aliman Syahrani (catatan), Andi Budiman (catatan), Ani Rahmawati Medizine (catatan), Arifya Anggoro Kasih (catatan), Ayu Mustika (catatan), Daud Yahya (catatan), Gadis Bandung (catatan), Gadis Subang (catatan), Kiki Hidayanti (catatan), Fatimah Adam (catatan), Junaidi Rakyat Jelata (catatan), Kumalasari Iain (catatan), Muhammad Muaz (catatan), Rismayatie Maia (catatan), Kya Habib Dayyan Nadia (catatan), Rian Onel (catatan), Syamsuwal Qomar (catatan), Riska Suharyani (catatan), Sastro Sukamiskin (catatan), Syaipul Adhar (catatan), Tato A Setyawan (catatan), Ujang Wisnu Barata (catatan), Vj Lyla (catatan), Wuland ApriLio (catatan)

Aku Kamu Saling Marah

Aku marah kepadamu
Kamu marah kepadaku

Marahku kepadamu
Marahmu kepadaku

Marahku bukan marahmu
Marahmu bukan marahku

Aku marah karenamu
Kamu marah karenaku

Marahku adalah maraku padamu
Marahmu adalah maramu padaku

Marahku benci kamu
Marahmu benci aku


Marah dan marah
kita saling marah
saling benci
saling pukul

Dengan satu kata
Bercerai
Bubar
Dendam


Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 9 januari 2010

Di dalam catatan ini : Ersis Warmansyah Abbas (catatan), Bambang Subiyakto (catatan), Abdin El Muharramun Amien (catatan), Akbar Alamsyah Hidayat (catatan), Al-fakir Isyar (catatan), Alfian Chemple (catatan), Aliman Syahrani (catatan), Andi Nurdin (catatan), Ani Rahmawati Medizine (catatan), Arifya Anggoro Kasih (catatan), Ayu Mustika (catatan), Fatimah Adam (catatan), Tato A Setyawan (catatan), Syamsuwal Qomar (catatan), Syaipul Adhar (catatan), Muhammad Muaz (catatan), Ma'ruf Musaddad Muzakkir (catatan), Rismayatie Maia (catatan), Sari Chan (catatan), Adrianto Titus Susanto (catatan), Sastro Sukamiskin (catatan), Gadis Subang (catatan), Muhammad Albagir Bin Yahya (catatan), Andi Budiman (catatan), Chal 'Gooners' Ichal (catatan), Ica Willy (catatan), Kiki Hidayanti (catatan), Ema Luph Damha (catatan), Ellen Iz Zhang Geum (catatan), Riska Suharyani (catatan)

Lautku Tak Biru Lagi

Lautku tak lagi biru
warnanya berganti dengan warna-warna
tug boat dan tongkang batubara yang hilir mudik melintasi
membawa keserakahan orang-orang kota
Lautku tak biru lagi
Dermaga batubara telah mengaburkan warnanya
Mengangkut keserakahan orang-orang kota

Lautku tak lagi biru
warnanya bercampur dengan noda-noda
ceceran solar dan oli dari kapal-kapal yang lalu lalang
dan bertambat di tengahnya sambil membunuh
ratusan jiwa yang ada di dalamnya

Lautku tak lagi biru
Warnanya bercampur dengan keserakahan
warnanya bercampur dengan noda dan dosa

Sampai saat ini
Lautku tak bisa biru lagi
Keserakahan telah mengubah warnanya
Keserakahan telah mengubah isinya
Keserakahan telah merenggut jiwa-jiwa di dalamnya

Lautku tak biru lagi
Tak tampak lagi camar berterbangan di atasnya
Tak nampak lagi nelayan yang melaut di atasnya
Tak nampak lagi bocah-bocah kecil berenang di pinggirannya

Lautku tak biru lagi
Sampai saat ini yang tertinggal
Hanya cerita dari kakekku saja......

Lautku tak biru lagi
warnanya berganti dengan tug boat dan tongkang batubara




Sketsa Laut di kawasan Tanah Bumbu
Faisal Anwar: Tanah Bumbu 1 Januari 2010